MP3

Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info
Renungan…? Sebuah Kapal Layar akan terus berjalan untuk mencapai satu tujuan , meskipun diubah-ubah oleh arah angin yang berbeda beda :) Mungkinkah…?

Conecting Bridge


Gambar 1. Prespektif Jembatan Transfield (Trans-Bakrie)
Pada jembatan di atas, teknologi las meskipun hanya terbatas pada pemasangan pelat stiffner, dan Top Cord End Beam ternyata juga digunakan. Adapun sistem sambungan utamanya adalah baut mutu tinggi, seperti terlihat pada detail typical Bottom Chord berikut.

Gambar 2. Tipikal Detail Sambungan pada Jembatan Transfield
Gambar 3. Jembatan Poncol (Jateng) dengan tipe Transfield
Kecuali tipe jembatan Transfield, maka jembatan baja yang umum digunakan dan yang dijadikan jembatan standar oleh Departemen PU adalah tipe jembatan sebagai berikut.

Gambar 4. Jembatan Standar PU
Detailnya mirip dengan jembatan Transfield dimana sistem sambungan dengan baut digunakan secara mayoritas pada jembatan tersebut.

Gambar 5. Jembatan baja tipe Austria
Gambar 6. Jembatan baja tipe Calender Hamilton
Tipe Austria maupun tipe Calender Hamilton juga terlihat seperti Transfield, yaitu memakai baut mutu tinggi sebagai sistem sambungannya. Sistem serupa juga terlihat pada jembatan-jembatan non-standar seperti :
Gambar 7. Jembatan Martadipura dalam masa pembangunan
Gambar 8. Jembatan Kapuas
Gambar 9. Jembatan Pela, Kutai Kartanegara
Ternyata memang benar, banyak fakta empiris yang menunjukkan bahwa jembatan baja di Indonesia umumnya banyak menggunakan sistem sambungan baut.  Sedangkan sistem las, kecuali detail-detail yang kecil kesannya tidak ada. Mungkin karena fakta-fakta empiris yang dijumpai seperti itulah maka akhirnya membentuk pengetahuan bahwa semua jembatan baja yang sukses (yang berdiri) adalah jembatan-jembatan yang memakai sambungan baut mutu tinggi dan bukan sistem sambungan las, meskipun itu pemakaiannya di fabrikasi.
Jadi intinya, insinyur senior jembatan tersebut berpendapat hanya mengandalkan pengetahuan empiris yang diketahuinya. Nggak salah sih, buktinya jembatan-jembatan tersebut dapat sukses berdiri dan aman sampai sekarang.
Kalau begitu masalah apa dong pak ?
He, he, itu yang perlu saya sampaikan. Pertama-tama saya ingin menegaskan bahwa pendapat bapak insinyur senior jembatan di sidang juri KJI bahwa pada jembatan baja hanya boleh digunakan sistem sambungan baut mutu tinggi adalah atas dasar pengetahuan empiris beliau sendiri selama ini. Pengalaman beliau yang telah secara sukses mengelola jembatan-jembatan di Indonesia yang memang pada umumnya sistemnya seperti itu, pakai sambungan baut mutu tinggi, sebagaimana contoh-contoh yang aku sampaikan di atas.
Itu tidak salah, karena selama ini beliau mempunyai pengalaman empiris bahwa jembatan dengan sambungan baut pasti sukses (dapat dibangun). Tetapi jika kemudian pengalamannya tersebut diterapkan secara umum bahwa tidak boleh ada sambungan las pada konstruksi baja, maka jelas itu tidak betul. Code-code perencanaan jembatan yang ada saja tidak ada yang melarang.
Meskipun secara mayoritas sistem sambungan yang ada adalah baut mutu tinggi tetapi saya bisa membuktikan bahwa sebenarnya sistem sambungan baja yang paling efisien adalah sistem sambungan las. Hanya saja sistem sambungan tersebut tidak boleh digunakan di lapangan, pertama-tama adalah karena mutunya tidak bisa diawasi secara baik, yang kedua sistem sambungan las di lapangan maka sistem tersebut beresiko terkena korosi. Oleh karena itu sistem sambungan las (di bengkel kerja) diterapkan pada segment-segment yang memungkinkan untuk dapat diangkut dan diereksi secara mandiri. Selanjutnya segment-segment tersebut disambung / dirakit di lapangan dengan baut mutu tinggi.
Konsep tersebut sudah diterapkan secara sukses juga di Indonesia, kalau tidak percaya lihat saja fakta berikut.
Gambar 10. Jembatan KA di Jalur Utara Jawa
Contoh di atas adalah jembatan baja untuk jalur KA, di lintas utara Jawa. Getaran pada jalur lalu lintas kereta api jelas lebih besar dibanding lalu lintas jalan raya, kondisi itu biasanya berdampak pada resiko fatique yang besar, yang umumnya terjadi pada sistem sambungan, daerah dengan kondisi tegangan terkonsentrasi yang besar. Jadi jembatan baja untuk jalur lalu lintas KA umumnya mempunyai spesifikasi sambungan yang ketat. Pertama kali dulu harus menggunakan sistem paku keling, kemudian meningkat dengan digantikannya dengan sistem baut mutu tinggi. Sekarang dengan berkembangnya sistem las, maka daerah-daerah sambungan yang rumit dibuat dengan sistem sambungan las di bengkel kerja (fabrikasi), tetapi untuk memudahkan dirakit di lapangan maka tetap disediakan sistem sambungan baut mutu tinggi. Tetapi lokasinya bisa dipindah ke titik-titik yang detailnya tidak terlalu rumit sebagai terlihat pada Gambar 10 di atas. Artinya bahwa sistem sambungan las dapat secara efektif digunakan pada jembatan baja, meskipun itu jalur KA.
Masih ragu ya, karena jembatan yang ditampilkan adalah untuk KA. Kalau begitu coba aku cari contoh jembatan jalan raya yang menerapkan sistem sambungan las dan juga baut.
Gambar 11. Segment box girder pada jembatan Suramadu
Gambar 11 adalah segmen girder baja pada jembatan Suramadu, disana terlihat bahwa sistem sambungan yang utama adalah las, adapun sistem baut mutu tinggi digunakan agar erection di lapangan dimungkinkan.
Jadi sejauh ini dapat ditunjukkan bahwa meskipun jembatan-jembatan di Indonesia secara mayoritas memakai sistem sambungan baut mutu tinggi , tetapi itu tidak bisa dijadikan bukti bahwa sistem sambungan las tidak baik digunakan pada konstruksi jembatan baja. Pertama tentu karena tidak ada larangan hal itu pada code-code perencanaan yang ada seperti (BMS 1992 atau AASHTO 2005). Kedua, bahwa ada bukti juga bahwa sambungan las dapat dipakai secara baik di jembatan KA yang tentunya resiko kena fatique lebih besar dibanding lalu-lintas jalan raya. Bahkan jembatan Suramadu yang baru saja diresmikan, segment-segmentnya dibentuk dengan sistem sambungan las, adapun sistem sambungan baut dipasang untuk kemudahan proses pemasangan di lapangan saja.
Kesimpulan lain yang dapat diungkapkan dari tulisan ini adalah bahwa pengalaman empiris subyektif tidak dapat dijadikan referensi satu-satunya untuk suatu keputusan yang bersifat umum. Perlu dilihat juga berbagai sumber literatur lain agar dapat diperoleh suatu pengetahuan yang solid.
Kesimpulan akhir, bahwa pengetahuanku tentang sistem sambungan las dan baut sejauh ini tidak perlu dikoreksi.
Bagaimana pendapat anda ?
.
.
<<up-dated masukan dari para pembaca>>
Bapak Sanny Khow, orang Indonesia yang saat ini bekerja sebagai bridge engineer di San Fransisco ternyata mendukung pendapat saya, bahwa sambungan las juga dipakai pada konstruksi jembatan. Dukungan yang diberikan tidak sekedar komentar tetapi juga disertai fakta-fakta yang ada pada proyek-proyek beliau. Ini ada beberapa foto yang saya down-load dari face book beliau.
Pak Sanny Khow dengan latar belakang erection segment kolom jembatan di  ZPMC, Shanghai.  Menurutnya : column ini semuanya di CJP welding di setiap sisi pertemuan steel skin plates. Steel skin plates ini ada yang 100mm tebal.
Komentar pak Sanny di fb : “Orthotropic box girder semuanya di CJP welding between the segments”.
Komentar pak Sanny di fb :”Box girder loaded to temp. truss”

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More